Rahasia Ilmu Seks Dalam Lontara Bugis “Assikalaibineng”
Mengukur Kejantanan dari Hembusan Nafas Assikalaibineng secara harfiah berarti cara berhubungan suami istri. Akar kata serupa juga dipakai masyarakat petani sawah di awal masa tanam. Karena padi dan sawah diibaratkan istri, maka suamilah diberi otoritas untuk menggarap dan menanam.
Karena ajaran lahir di masa kuatnya paternalistik dan belum ada gerakan persamaan gender, makanya ajaran Kitab Persetubuhan Bugis ini lebih banyak ditujukan kepada suami. Kitab ini paham betul emosi perempuan dan karena perasaan malunya mereka amat jarang menjadi inisiator.
Rahasia Ilmu Seks
Inilah yang sekaligus menjelaskan mengapa ilmu tarekat atau tasawuf seks ala Bugis-Makassar ini diajarkan terbatas ke calon mempelai pria, memilih momentum beberapa hari sebelum akad nikah.
Setelah pengetahuan mandi, berwudu, dan salat sunah lalu tafakur bersama yang disebut nikah batin, maka sampailah pada tahapan lelaku praktis, cumbu rayu, penetrasi, dan masa pascaberhubungan.
Karena konsep Assikalaibineg mengedepankan ideologi dan tata krama, disarankan agar sebelum aktivitas penetrasi dimulai dilakukan dalam satu sarung, atau kain tertutup, atau kelambu.
Masyarakat Bugis, seperti dikemukakan Christian Pelras dalam bukunya, Manusia Bugis (Oxford: Blackwell, 2006) memang memiliki sarung khusus yang bisa memuat sepasang suami istri.
Sarung jenis ini tentu sangat susah didapat di pasar-pasar sandang kebanyakan.
Namun toh, selimut bisa menjadi alternatif.
Buku ini menggunakan istilah makkarawa (meraba) dan manyyonyo (mencium) untuk tahap foreplay.
Ini dengan asumusi pihak pria sudah mengetahui 12 titik rangsangan, dan rangkaian mantra (paddoangeng).